Wednesday, January 09, 2008
Pariwisata Indonesia : Oh Mama Oh Papa....
Hong Kong didatangi oleh lebih dari 28 juta turis di tahun 2007 dan diperkirakan akan meraup pemasukan melampaui HK$130 miliar (kira2 16,6 miliar US$). link
Sedangkan menurut situs budpar (yeah.. what a name..), pemerintah Indonesia mencoba menarik 7 juta wisatawan di tahun 2007, dan mengharapkan pendapatan 6.4 milar USD. (estimasi 941US$ per wisatawan).
Budget promosi yang diadakan adalah sebesar 15 juta USD.
(Kalau tertarik, silahkan bandingkan 'budget promosi tourism' kita dengan laporan keuangan HK Tourism Board, sebuah badan di HK yang dibentuk khusus untuk menjalankan pariwisata HK secara profesional : link
Jadi dibandingkan dengan HongKong yang wilayah daratnya tidak sebesar Jabodetabek, maka target pengunjung sebanyak 7 juta orang adalah sangat sangat kecil. Hanya 1/4 jumlah turis yang ke HK di tahun 2007!
Apakah tidak bisa ditargetkan target yang lebih tinggi? Atau memang karena pemerintah Indonesia tidak terlalu optimis untuk menjual Pariwisata Indonesia?
Saya sendiri sih tidak terlalu optimis untuk menjual pariwisata Indonesia ke luar negeri. Mengapa? Karena untuk menjual, tentunya harus rapih2 dulu... dandan dulu... Kalau saya mau membuang uang saya di Mal, tentunya saya tidak mengharapkan tempat yang becek dan bau amis. Saya mengharapkan lokasi yang nyaman, ber AC, free hot spot. Untuk semua itu, saya berani membayar parkir mahal (Rp.2000,- per jam).
Satu2nya tempat di Indonesia yang bisa menjual dirinya hanya Bali. Bagaimana dengan daerah lain, misalnya Jakarta?
Ini adalah apa yang harus dialami oleh seorang turis kalau datang ke Jakarta :
Toilet di Bandara yang bau pesing menyambut para turis yang baru mendarat dan keluar dari pesawat.
Ketemu loket Imigrasi. Petugas Imigrasi dengan antusias selalu akan mencoba untuk memeras orang luar negeri (kalau orang lokal tidak usah diperas sudah tst...). Seorang rekan saya dari China dimintai uang oleh 'oknum' berbaju Imigrasi dengan cara mengibas2kan uang HK$20,- karena tidak bisa bicara bahasa Mandarin/Cantonese. Rekan saya itu memberikan uang HK$20,- kepada si oknum mengira bahwa itu memang fee-nya. Saya tidak tahu harus tertawa atau malu ketika rekan saya menceritakan hal itu. (Moral dari kisah ini, belajarlah bahasa asing sebanyak mungkin, karena jika bisa berbahasa Mandarin, maka sang 'oknum' akan dengan gampang meminta HK$50 atau HK$100).
Lewat Imigrasi, ketemu 'oknum' Bea Cukai. capeee deh... Keluar dari Bea Cukai, harus melewati lautan calo2 taxi gelap. (sekadar reminder kalo ini cerita masih di Bandara Soekarno Hatta, dan bukan di terminal Kampung Rambutan). Kalau tidak hati2, walau sudah memilih taksi resmi, bisa2 diperas untuk borongan.
Setelah keluar dari Bandara, harus menikmati kemacetan yang kadang dimulai dari ruas tol Bandara. Kalau beruntung, si turis bisa menikmati Venice ala Jakarta, karena ruas tol Bandara bisa tergenang air.
Bagaimana dengan situs pariwisata di Jakarta?
Kapan terakhir Monas memperbaharui lift-nya?
Museum Gajah yang pada hari Senin tutup jam 2 siang, tapi pada jam 1 sudah tidak ada petugas di loket? (what do you expect from a PNS?)
Kebun Binatang Ragunan yang banyak sampah karena kurangnya tempat sampah, dan sangat sudah menemukan peta.
Macetnya Jakarta membuat hampir impossible untuk melakukan City Tour dengan nyaman.
Saya rasa hanya ada 2 situs pariwisata (cmiww) di Jakarta yang worth visiting karena dikelola secara PROFESIONAL yaitu Ancol dan mungkin TMII.
Kata kuncinya adalah PROFESIONAL. Pengelolaan situs pariwisata secara PROFESIONAL. Titik.
Tapi tau sendiri dah, pemerintah Indonesia memang jagonya cuman bikin jargon. :)
image credit : http://www.my-indonesia.info/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment